Selasa, 15 Maret 2011

RENCANA TUHAN

Sore yang elok. Memandangi sang mentari yang sebentar lagi bersembunyi di singgasananya. Dan menghitung detik-detik waktuku. Aku terasenyum sekali lagi, untuk mengenang beberapa tahun yang lalu.”Luna..kenapa kamu menangis? Seharusnya kamu patut berbahagia malam ini sayang! malam ini kamu akan bertambah umur, jadi harus lebih dewasa. Nggak boleh cengeng lagi, malu..”. Ucap bunda sambil memencet hidungku kemudian memelukku begitu hangat.
Ya malam itu umurku akan genap 7 tahun. Masih kecil, sangat lucu mengenakan gaun putih dan rambut dibiarkan tergerai. Panjang dan hitam legam.Malam itu aku mengusap air mataku dan mulai bertanya pada bunda. “Bunda..dimana mataharinya? Luna pengen ditemani matahari malam ini. Luna nggak suka malam, selalu gelap. Luna suka siang, terang benderang. Kamana matahari pergi bunda?”. Rengekku pada bunda. “Matahari sedang beristirahat di singgasanya yang indah Luna..kamu tak boleh mengganggunya. Besok pagi kamu akan bertemu dengannya, lalu ucapkanlah selamat pagi padanya dan jangan lupa beri senyumanmu”. Ucap bunda sambil menggandengku keluar dari kamar. Malam itu bunda memang sengaja tak memberi tahu tentang siklus pergantian siang menjadi malam, karena percuma aku tak faham.
Hhh, sungguh senang mengenang masa kecil yang masih ringan melempar beban. Sama seperti perasaanku saat ini. Melihat belasan anak sedang bermain bola di hamparan tanah luas di bawah sana. Sungguh beruntung mereka, masih bisa meraih harapan mereka. Aku putuskan untuk melihat lebih dekat. Dan duduk di bawah pohon. Angin sore sungguh segar . Menerpa wajahku yang kian hari kian layu saja.
Tiba-tiba saja kesenangan tadi terpecah oleh keributan di tengah arena bermain. Seorang lelaki berbilang 23 atahun dan seorang lagi kurang lebih 18 tahun keluar dari arena dan menuju dekat pohon yang ku duduki sambil saling bersitatap tajam. Seseorang yang lebih tua mencengkeram kerah leher lelaki satunya dan siap meninju dengan kepalan di tangannya. Untungnya mereka tak saling memaki, mungkin hanya desisan lirih. Aku segera bangkit dari dudukku dan menghentikan pertikaian mereka dengan beberapa kalimat yang ku ucapkan. “Tak adakah yang lebih penting dari apa yang kalian lakukan sekarang? Kalian masih punya banyak kesempatan untuk meraih impian kalian masing-masing. Gunakanlah dengan baik, jangan pernah sia-siakan waktu yang di berikan Tuhan pada kalian!”. Ucapku pelan tapi pasti.




----- -----

Malamnya, aku ditemani bunda menulis puisi kehidupan. Bunda membelai rambutku dan memandangku dengan tatapan kosong. Semakin hari wajah bunda terlihat semakin sendu. Membuatku bertambah sedih. Aku segera memeluknya. Pertanda bahwa aku baik-baik saja. “Bunda..Luna baik-baik saja, bunda nggak boleh sedih lagi, Luna menjadi sangat tersiksa kalau bunda sedih terus!”. Ungkapku lirih. Dan tak terasa beberapa bulir air mata membasahi pipi merahku.


----- -----

Sang mentari kembali dari peristirahatannya. Aku tersenyum puas, sampai saat ini kondisiku masih bisa di bilang cukup baik. Dan seperti biasa, aku keluar rumah untuk berjalan santai sambil menghirup udara pagi. Jika memang Tuhan berkehendak, makhluknya tak bisa memungkiri. Hari ini aku bertemu dengan lelaki kemarin sore yang mempunyai umur lebih tua. Aku tersenyum tipis melihatnya, tapi ia seperti tak melihat ada aku di situ. Tak apalah.
Hari ini juga Tuhan mentakdirkan aku bertemu dengan lelaki itu lagi, kurang lebih 5 kali. Apa maksud semua ini?. Dan akhirnya, lelaki itu memutuskan mengajak bicara di sebuah bukit kecil denganku. Dia bernama Egy, ternyata umurnya 22 tahun, 2 tahun lebih tua dariku. Sore ini kami sudah saling akrab. Egy bukanlah cowok yang menyeramkan seperti kemarin sore.

----- -----

Tak terasa selama 5 hari terakhir kami saling bertemu dan berbincang dengan akrab, layaknya seperti sudah berteman sejak lama. Di suatu sore, kami sedang menikmati indahnya sore. Tiba-tiba saja aku merasakan sebuah cairan hangat mengalir dari hidungku. Satu tetes darah merah jatuh mengotori baju putihku. Sebenarnya hal ini sudah sering terjadi padaku, tapi karena di sampingku ada Egy, itu membuatku panik. Dan saat Egy menoleh pada kepada ku, dia ikut panik dan lebih panik lagi melihat darah yang semakin menderas. Egy segera memberiku sapu tangannya. Aku tak percaya, saat dia membersihkan darah yang mengalir di hidungku ada sebuah hawa yang berbeda dari kejadian ini. Apa maksudnya ini?.




----- -----

Paginya lebih mengejutkan lagi, Egy berkunjung ke rumahku. Di rumah, tinggal aku seorang. Bunda dan ayah pergi ke kota. Aku mempersilahkannya duduk di teras depan, agar tidak menimbulkan berita yang macam-macam. Egy datang kemudian bertanya langsung pada pokok permasalahan. “Luna..kamu sakit apa? Semakin hari, wajahmu terlihat semakin pucat”. Aku tersentak mendengarnya. Tapi apa boleh buat, aku harus menceritakannya. Setelah aku selesai menceritakan apa sebenarnya penyakit yang sedang aku derita, Egy terlihat begitu shock. “Luna..kamu harus tetep bertahan, kamu tak boleh lelah berharap pada keajaiban Tuhan! Aku mohon! “. “Egy..berharap itu indah, tapi bagiku berharap itu hanya akan membuatku bertambah sakit!”. Ucapku lemah. Dan setelah Egy memberiku banyak motivasi, ia pamit untuk pulang.

----- -----

3 hari kemudian, setelah Egy berkunjung ke rumahku, aku masuk rumah sakit. Kondisiku semakin memburuk. Benar-benar buruk. Aku di masukkan ke rung ICU. Benar-benar seperti sebentar lagi malaikat maut akan menjemputku. Di ruang itu terlihat ayah, bunda dan semua anggota besar keluarga hadir dengan tangis yang menyayat hati. Tapi Egy? Mana Egy? Aku tak melihatnya. Beberapa saat kemudian, situasi berbanding terbalik. Ruangan benar-benar lengang. Hanya menyisakan aku dan Egy. Ya, Egy berada disampingku. Menggenggam jemari tanganku sangat kuat. Ia menangis. Wajahnya merah. Tangisnya tak mengeluarkan suara. Benar-benar mengharukan. “Luna..kamu harus bertahan! Ak..aku mencintaimu! Jangan tinggalkan aku Luna! Ini adalah perasaan pertamaku mencintai seorang wanita dengan tulus!”. Isak tangis Egy mulai jelas. Aku hanya bisa tersenyum. “Egy..Perasaanmu tak bertepuk sebelah tangan, tapi maaf, sebentar lagi aku akan menjemput sebuah kebahagiaan baru”. Tangisku yang sedari tadi aku tahan, akhirnya tak kuasa aku meluapkannya. Dan benar saja, seberkas cahaya menyilaukan menjemputku ke alam yang lebih damai. Di umurku yang ke -20 tahun, pada senja sore yang begitu indah, dengan perasaan bahagiaku saat mendengar perasan Egy yang tulus, ayah dan bunda yang mempunyai pengganti diriku dengan adik-adik kecil dari Panti Asuhan dan tak lupa dengan penyakit yang mendera diriku selama bertahun-tahun yaitu kanker otak dan yang sekarang sudah mencapai stadium akhir.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar